Sunday, July 18, 2021

Bangsa Yang Besar dan Kuat Adalah, Ketika Menghargai Budayanya Sebagai Jati Diri

Foto saat kami berada di areal lingkungan pasar Karang


Apstrak

Masyarakat Papua memiliki pola hidup perkotaan dan pedalaman yang unik dan cukup sulit mengartikulasikan kebahagian serta kemakmuran dari satu sudut pandang. Naska ini menulis dengan metodologi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, dokumentasi, wawancara dan merekontruksi secara naratif apa yang diamati dan pelajaran di lapangan secara langsung. Subtansinya adalah karakteristik dan jati diri orang Papua dalam kontruksi social ekonomi.

Pendahuluan

Setiap suku bangsa memiliki nilai keluhuran sejak masyarakat itu ada. Nilai itu mengajarkan tentang identitas diri akan siapa diri kita dan hal-hal norma. Selalu menantang untuk hidup bekerja keras berdasarkan norma-norma yang berlaku, yang ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tersebut sekalipun lisan, tetapi mencakupi norma dan patuh secara kesadaran masyarakat.

Narasi

Pada hari Kamis 01/07/2021, saya bersama salah seorang pria muda hendak berpergian berjalan sambil menengok pasar. Kebetulan kami hampir seminggu telah berada di sebuah tanah kerukunan masyarakat Pegunungan Tengah yang jauh dari hidup kota tidak sampai sekilo juga. Setiap pagi, siang dan sore kami ikuti irama aktifitas masyarakat di sekitar lingkungan dimana kami berada. 

Di sepanjang perjalanan cukup ramai kendaraan berlalu lalang. Demikian halnya manusia yang berjalan kaki. Semua yang ramai ini aku tidak memperhatikan mereka yang mengendarai mobil. Sementara mereka yang mengendarai Strada, PiCup, motor dan berjalan kaki hampir rata-rata OAP dengan penuh bahagia dan riang gembira.


Kami melihat mereka keluar dari lorong-lorong kecil dan rumah yang sederhana, persamaan dengan menyingsingnya fajar pagi. Ada yang mengendong anak, ada yang mengisi dalam noken, ada pula yang bergandengan tangan di pagi-pagi hari itu. Kami melihat mereka tidak ada yang berjalan kosong sampai dengan pada penumpangan ojek persamaan menyingsirnya fajar pagi. Masyarakat hampir rata-rata pikul noken, sekop, parang, kampak dan lain sebagainya merupakan alat kerja mereka. Di siang hari mereka memikul segala beban hasil perkebunan, baik untuk di jual maupun makan di rumah. Mereka pulang dengan alat-alat kerja itu dan penuh lumbung. Kami telah melihat hampir semua karakter dan bahasa suku-suku di Papua ada disini, yang terdiri dari orang Lapago, Mepago, dan Saireri cukup dominasi dan beberapa suku lainpun cukup nampak.


Di Nabire memiliki sejumlah pasar besar maupun kecil. Kami kesana dan memasuki salah satu pasar adalah di “pasar Karang” yang cukup ramai sambil menikmati indah dan ramainya orang-orang disepanjang jalanan, baik mengendarai maupun berjalan kaki. Saat siang hari itu kami masuk di pasar dan berjumpa dengan beragam masyarakat Papua maupun non Papua yang cukup asyik karena di pasar. 

Kami melihat mobil-mobil dambri yang masuk dan mengangkut para penumpang yang cukup banyak dan padat, baik orang besar maupun anak kecil. Kami bertanya pada seorang mudah yang ada disamping saya itu. Siapaka mereka ini? Ia menjawab padaku, "Kaka ini semunya dari pedalaman". Aku menjawab dengan kagum dan terharu: "oh iya terimakasih dix". Mereka semua turun dari dalam mobil setelah dambri itu berhenti di tempat pemberhentian /parkiran. Mereka semua keluar dengan bekal jualan adalah hasil kebun dengan pakaian apa adanya, kaki kosong. Sementara sebagai ibu ada yang sambil mengendong dan menyusui anak dengan ASI.

Ada seorang ibu yang membawa bekal jualan umbi-umbian dan sayur mayur hasil kebun dipinggir jalan, kebetulan beberapa hari belakangan itu kami hanya makan nasi terus bosan dan tujuan kami hendak membeli petatas untuk makan malam, kami mendekatinya dan menyapa "selamat siang ibu". Ia menjawabnya: "ia anak selamat siang mari petatas"!. Aku terharu ketika itu aku mengingat ibuku juga mempunyai nasip yang sama. Dengan perasaanku Isak tangis dan mata berkaca, aku memberi senyum dan menghela nafas sedikit lalu membeli jualannya satu tumpukan dengan harga yang cukup menjangkau. Kami membayarnya sesuai harga yang ditentukan si ibu itu dengan mengucapkan terima kasih. Ibu dengan senyum berkata: "anak Tuhan memberkati" dan aku menjawabnya dengan senyum kecil, "ya ibu terimakasih lagi kami jalan"!


Kami membalikan arah ke parkiran motor kami dan telah melihat bapak dengan anak-anaknya yang sempat turun dari dalam mobil Dambri itu, mereka sedang berbelanja semua kebutuhan di salah satu kios yang berbentuk barak ruko. Mereka dengan pakaian apa adanya dan kaki kosong tadi, tetapi belanja barangnya cukup dan terlalu banyak. Aku kagum dan heran. Dan situasi ini hampir mereka yang turun itu sama. 

Aku melihat dan ada pula yang sambil berjualan mengayun-ayunkan tangan ketika ia menganyam noken. Aku dengan dengan rasa desakan hati menghampirinya dan menyapa, "selamat siang ibu"! Ia menjawabku, "anak selamat siang"!. Karena di tempat yang ibu berada itu bagian sombar dari sinar matahari, ibu itu berkata mari anak duduk disini tempat sombar. Aku menjawabnya “Iya ibu terimakasih”. Lalu ibu itu berkata padaku "anak minta maaf! Gaya anak sepertinya orang baru disini"? sambil meperhatikan jualan maupun pekerjaan anyaman noken. Aku menjawabnya “iya ibu benar sekali…, saya baru disini hampir menjelang satu Minggu. Ibu menjawabku: mama sudah melihat anak ini orang baru. Kami membangun dialektika dan berbincang-bincang kurang lebih hampir 40an menit karena asyik.

Dengan singkatnya, se konyol-konyol aku bertanya: ibu ada jualan baru kenapa sibuk anyam noken lagi? Lalu ibu itu menjawabnya dengan santai: anak ini mama main-main tangan saja sambil duduk berjualan. Sambungnya… tetapi anak, ini merupakan nilai tambah karena akan menghasilkan uang juga setelah jual dan ketika itu laku. Ia mencurahkan semua perjuangannya, dan ia berkata: anak, mama ini punya anak 11 orang, kami hanya seorang pelayan gereja dengan terbatasnya ilmu pengetahuan tetapi anak-anak kami harus menjadi yang luar biasa tuturnya dengan penuh semangat dan santai. Aku kagum dan berkata pada ibu itu, ibu adalah orang hebat yang ada ditengah-tengah keluarga ibu!. Ia dengan santai berkata, bahwa noken juga akan berguna untuk kami mengisi hasil kebun, tetapi juga kami pakai mengisi anak-anak ketika mereka lahir sebagai warisan budaya dan sarana perawatan si boca. 


Sesungguhnya aku sadar, dan aku juga pernah lahir dan besar dalam noken sebagai anak dari pedalaman Wamena, dengan ekspresi saya yang kaget berkata: ohya? Ibu luar biasa dan itu mantap sekali karena pemanfaatannya lebih dari satu. Saya tambahkan, “kita tidak perlu jadi orang lain! Ibu bapa dorang mempertahankan nilai-nilai kearifan local, termasuk pelestarian noken, berkebun, itu semuanya mempertahankan jati diri bangsa ini di mata dunia yang luar biasa”.

Penutup

Kami selalu sedap dengan teori-teori barat yang barangkali mengedepankan paradikma kapitalisme dengan ekspoloitasi budaya barat. Ketika orang memakai Sali dan koteka itu dianggap primitive dan kuno. Seringkali mereka tidak memahami nilai-nilai yang mengandung pada unsur-unsur budaya, tetapi juga ada yang mengerti tetapi ingin menghancurkannya kontruksi masyarakat itu. Waktu kami kulia dengan Dr. J. Mansoben, dalam perkuliahan Antropologi dan saya bertanya dengan segala keterbatasan, apakah Papua ini bangsa? Ia menjawabnya dengan keras, orang bilang bangsa-bangsa adalah didorong oleh suku-suku, bahasa-bahasa, dan budaya maka disebut bangsa-bangsa dan Papua juga dikenal bangsa besar yang ada di ujung Timur.


“Aku bangga, 

kau bangga,

kita mempunyai bangsa 

yang besar”*


Oleh: Hetang J. Asso

Foto dan narasi: Dok pribadi



No comments:

Post a Comment