Tuesday, October 26, 2021

Bicara Papua Bicara Injil

Bicara Papua Bicara Injil

Opinion: By. Hetang J. Asso

Foto artist (dok*)

Siapapun yang ada di Papua, setiap momentum ketika orang berpidato atau berorasi, selalu memulai dengan slogan-slogan "bicara Papua Bicara Injil, Papua adalah Tanah damai, Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi, seperti syair lagu F. Sahilatua "Aku Papua" dan sebagainya". Sejak dahulu sampai saat ini masih saja berlaku. Pertanyaannya, masihkah relevan? Tentu saja masih banyak orang yang akan menjawabnya masih relevan dimasa kini. Walaupun masih abstrak, tetapi bisa meyakini karena memiliki historis yang panjang. 

Setiap percakapan dalam meletakan suatu letak geografis dan objek, diperlukan memahami populasi secara generalis dan sistematis. Karena itu akan mengetahui kondisi ril dan mendapatkan suatu kesimpulan antara baik atau ambruk. Demikian pula untuk memahami Papua yang menyelubungi dengan banyak sekali ceritera-ceritera dramatis.

Kini masyarakat di Papua telah merayakan dirgahayu GKI di Tanah Papua yang ke 65 tahun ketika itu berdiri sendiri secara mandiri sejak 26 Oktober 1956 setelah 101 tahun zending melakukan Pekabaran Injil, 26 Oktober 2021 sebagai hari doa syukur, dengan sorotan tema "Datanglah Kerajaan-Mu (Mat. 6:10a)" dan lebih menyoroti dari seluruh aspek kehidupan, pembenahan maupun karyanya kepada pelayanan diakonia serta penanganan pandemi COVID 19 yang di alami seantero dunia.

Pada momentum hari doa syukur GKI di Tanah Papua kali ini, hampir di seluruh media sosial, termasuk saya menulis status syukur yang luar biasa dan bahwasannya yaitu: telah menyatakan diri kepada Tuhan Allah dan sesama bahwa Ia baik. Dalam kasih dan cinta-Nya telah menghantarkan umat GKI bersama-sama dengan masyarakat selama setahun ini, tanpa memandang SARA dalam kerangka oikumenika dan toleransi. 

Persamaan dengan HUT GKI di Tanah Papua, memperingati pula HARI PERADABAN PAPUA yang dikenal dengan doa sulung I. S. Kijne di Wasior 25 Oktober 1925 dan 25 Oktober 2021 saat ini memasuki usia yang ke 96 tahun. Kegiatan ini diselenggarakan oleh “Gidion Papua Center” dengan Tema: PAPUA MILIK SIAPA? dilakukan secara firtual. Dalam diskusi daring ini menyoroti tentang sebuah gren desain Papua apa yang bisa dorong yang tidak terlepas dari substansi doa sulung Izaak Samuel Kijne. 

Dalam pantauan saya selain postingan saya pribadi, ada sejumlah juga memiliki postingan slogan yang serupa itu, bahwa "bicara Papua Bicara Injil". Ketika itu saya berusaha merenung, ingin memahami kondisi Papua dengan segala keterbatasan saya, dan masih saja rasa terganggu atas slogan-slogan tersebut. Saya mulai bertanya pada diri, apakah semua baik-baik saja? Sedikit yang kita ketahui bersama dengan dinamika dan kondisi masyarakat di Tanah Papua, kondisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, ketahan pangan, operasi militer, ketidak adilan Hukum dan HAM, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya. Berbagai problem yang sulit untuk menelusuri dan menyadurkan sebagai contoh kasus dan itu ril. Hal ini kita semua harus mengakui dan kalo tidak mengakui, itu tandanya orang buta dan tuli yang ada di tanah ini.

Bicara Papua adalah sebuah aksioma yang abstrak. Karena itu yang harus mulai adalah dari kondisi ril masyarakat Papua dan non Papua yang menjalani hidup bersama-sama di tanah ini. Untuk itu, demi memahami Papua secara komprehensif, holistik, memulai dari subjek adalah manusia Papua dan non Papua yang berdiam di Tanah Papua sebagai manusia. 

Dahulu kala sangat relevan ketika memakai slogan "Papua Tanah Injil atau Papua adalah Tanah Damai". Kondisi saat ini lebih kejam namun diindahkan oleh karena semua orang dihipnotis materialisme. Hutan rusak, kali rusak, laut tercemar, tanah di ambil, emas diambil, sagu di gusur, dan semuanya ini begitu saja berlalu yang penting ada uang untuk sekedar foya-foya atau eforia tanpa memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan yang keberlanjutan.

Secara indrawi memahami Papua dari Gesing, yang membuat akhir-akhir ini seantero baik media cetak maupun elektronik, media minscerim, termasuk manusia seperti Olva dan teman-teman barisannya, mengedepankan hal-hal materialistis yaitu ruas jalan trans, pelabuhan, bandara, perbatasan-perbatasan, dan jembatan. Lebih-lebih lagi pesta Nasional di ajang Pon XX Papua, yang terjadi di lapangan Lukas Enembe beberapa pekan lalu. Ya kita mengakui bahwa itu adalah perhatian pemerintah yang signifikan era Jokowi dan itu tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, bukan di sungut-sungutty.

Kita sekalian syukuri bahwa Papua memiliki toleransi yang luar biasa, ketulusan, kebersamaan yang amat luar biasa. Semua orang memberikan hak yang sama tanpa memandang SARA atau bulu dan itulah masyarakat Papua. Yang lebih kejam lagi disini adalah marjinalisasi dan ini terjadi karena masyarakat yang datang dari luar Papua, mereka datang dengan berbagai bekal kreatifitas dan mencari peluang hidup. Sementara masyarakat Papua walaupun tidak serta Merta, tetapi saya ingin berkata bahwa hanya memikirkan tentang makan minum yang berakibat kan marjinalisir di negerinya sendiri tanpa daya.

Kita sekalian sebagai masyarakat, tanpa membedah-bedakan suku, agama, ras, gunung, pantai, kota, kampung, asal gereja, menyadari sebagai masyarakat intelektual, transformator, bersama-sama dengan gereja dan masyarakat, menjadi garam dan terang bagi dunia. Stop bikin diri tuli, buta bahkan pura-pura. Jadilah manusia yang melayani manusia tanpa memandang SARA. Kita wajib menyatakan diri bahwa agamamu adalah agamaku, suku kamu adalah sukuku, masyarakat kamu adalah masyarakat saya, masalahmu adalah masalahku. Kita maju bersama, wujudkan impian bersama dan kita hebat bersama.

Akhir kata sebagai masyarakat/jemaat mengucapkan Dirgahayu GKI di Tanah Papua yang ke 65 tahun, Tuhan yang adalah Gembala dan nakoda kapal GKI yang besar ini, kiranya dapat menolong dan memampukan kita untuk bekerja melayani umat-Nya di tanah ini dalam mewujudkan tri panggilan gereja, yaitu: koinonia, martoria dan diakoni. 

Shallom!!!






No comments: