Wednesday, January 12, 2022

PERANG SUKU?

 By. Hetang J. Asso

Sumber gambar: telusuran google.

Konsep perang berarti mengenai bagimana menciptakan kelompok lawan dan kelompok teman. Atau menciptakan suatu pertikaian fisik antara kelompok dengan menunjukan kekuatan peralatan perang dan saling membunuh dan mendendam. Istilah dalam bahasa Latin: 'homo homini lupus est', yang berarti "Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya" dan begitulah masyarakat kita Hobes dan Freud (Asso, 2019).

Alkitab mencatat dalam kitab Efesus 5:8-10 (TB) "Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujila apa yang berkenan kepada Tuhan." 

Menyadari bahwa "perang" bukan baik tetapi juga bukan tidak baik. Dengan cara sederhana adalah kita dapat mampu membedakan yang didorong oleh nats Alkitab diatas: "Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan".

Perbedaan masyarakat cukup jelas dengan gesekan perubahan dan bahwa cara berimajinasi orang pada nilai kebaikan dan keadilan dan kebenaran sebagai hal yang hakiki namanya "kemanusiaan".

Faktor perang, kita sementara bermusuhan dengan keluarga, suku/marga, orang lain tidak mengabaikan pula dengan konsep "perang". Tetapi mereka memakai konsep perang dengan satu paradigma baru yang berbeda secara sistematis dan kohesif. Sepertinya dalam dorongan teori konspirasi kolonialisme dan kapitalisme borjuis, baru-baru ini menjadi perang sengit antara Amerika dan Cina dengan istilah "perang dagang". Hal lain dalam karya Joyce Meyer menuliskan "pikiran adalah medan perang, menangkan perang dalam pikiran anda" dan karya ini judul asli: "Battlefield of the Mind" (Meyer, 2010)

Dalam memasuki era baru yang dikenal dengan 4.0 atau "milenial" berarti memasuki era medan prang teknologi dan pencapaian miliaran. Ingat bahwa dunia selalu dinamis. Mengikuti perubahan-perubahan baru untuk mencapai tujuan hidup. Kita harus menjadi garam dan terang bagi manusia sebagai manusia yang mulia. Jangan seperti Hobes dan Freud menggemukan bahwa "manusia adalah serigala bagi sesama manusianya".

Dalam orientasi Yesus, sekalipun banyak musuh yang sedang memusuhinya, justru Ia mengajarkan hal-hal kebaikan walaupun dalam artiannya banyak konter festival. Sepertinya (Mat. 5:39) Ditampar Pipi Kanan, Beri Pipi Kiri. Kristus ingin agar manusia dikendalikan nurani di dalam dirinya, bukan sekadar taat kepada hukum di luar nuraninya. Seperti (Mat. 5:44) "Kasihlah musuhmu dan mendoakan" ini terlepas dari hukum KASIH (Mat. 22:39) "Kasihlah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Walaupun dalam konteks PL (Kel. 21 :31-42) Peraturan tentang jaminan nyawa sesama manusia, hukum yang berlaku zaman itu adalah Mata Ganti Mata Gigi Ganti Gigi (Asso, 2019).

Dengan beberapa sudut kajian secara terbatas ini, pembaca juga perlu memberikan analisis empiris dimana kita mengalami langsung sebagai subjek maupun objek masyarakat. 

Hal lain, penulis ingin sedikit keluar demi stimulisasih pembaca, bahwa dahulu kala orang dikenal big man adalah pria hebat atau orang-orang terdepan di perbagai situasi dan bisa dikatakan termasuk perang (bisa baca Asso dalam jurnal, Desember 2019:18-19). Dengan perkembangan zaman yang begitu drastis, pria hebat atau wanita hebat, orientasi baru adalah ketika menjadi pilot, guru, medical, bupati, gubernur, presiden dan sebagainya.

Dengan demikian dalam berbagai keterbatasan, kesimpulan yang dapat menjadi simpulisasi, kalau perang suku masih terjadi diberbagai kalangan masyarakat, maka kelompok-kelompok masyarakat itu adalah kuping dan tolol. Kehidupan masyarakat di Tanah Papua hari ini adalah bukan lagi kegelapan seperti dulu, kami sudah menjadi merdeka dan hidup pada terang di dalam Tuhan melalui kehadiran Injil (Rom. 1:16-17). Masyarakat di Tanah Papua diancam oleh berbagai faktor dan populasi OAP semakin minoritas. Apa lagi perang suku tumbuh dimana, selesailah kita. Ketika perang suku terjadi pemerintah tidak terlalu agresif dan saya tahu bahwa disitu ada sokong menyokong jadi masyarakat korban dua kali lipat ganda. 

Pertama dalam sokong menyokong itu bicara uang dan ada pernyataan bahwa pihak kepolisian memberikan izin 1 hari atu 2 hari perang lalu perundingan atau rekonsilasi. Pernyataan itu bukan bentuk pengayoman, justru memberi ruang supaya masyarakat Papua dihabisi oleh masyarakat sendiri, seperti teori Hobes & all tadi. Pembiaran ini juga sekarang sedang terjadi di Wamena dan masyarakat tanpa sadar, dengan penuh semangat mendroping alat perang teradisional. Nanti saat demo baru pemerintah melalui kemanan terlalu agresif dan cepat bubarkan seakan ada perang. Ruang demokrasi dibungkam. Gereja yang sebagai pelindung dituduh bermacam-macam bahasa dengan stikmah-stikmah Negara. Sementara beberapa tahun belakangan ini di Wamena, dengan begitu ketatnya pemerintah, masyarakat bawa alat kerja, alat pemburu semua disita oleh gabungan TNI/Polri dan Satpol PP. Pada perang suku antara masyarakat Nduga vs Lani Jaya ketika mobilisasi alat perang teradisional, tidak buat apa-apa dan itu adalah pembiaran pemerintah.

Kedua berjatuhan korban nyawa manusia, hewan, rumah dan harta kekayaan atau benda lainnya. Nanti setelah mengalami kehabisan lalu datang seakan-akan sedang mengayomi dan memberikan berbagai bantuan logistik tanpa memikirkan tentang mereka yang menjadi korban tewas dan keluarga korban yang ditinggalkan. Permainan ini sama dengan binatang yang punya akal tapi tidak punya perasaan nurani.

Pikul alat perang teradisional kejadian perang suku di Wamena antara masyarakat Nduga vs Lani Jaya. Sumber foto dari gurup WA.

Pertanyaan pembimbing

  1. Apa pentingnya perang suku?
  2. Bagimana kondisi masyarakat kalo perang suku terjadi terus menerus?
  3. Apakah ada dampak yang siknifikan dibalik perang suku?
  4. Apa yang Alkitab ajarkan?


Sumber:

  1. Jhon, Asso. 'Hetang Wem' Dampak Perang Suku Terhadap Iman Warga Jemaat di Bakal Klasis GKI Balim Selatan; STFT GKI I.S. Kijne; Jayapura, 2019.
  2. __________. Mitologi Perang Suku Hubula Kab. Yahukimo Distrik Mugi di Hetang; Jurnal: 'Heyakhe' Arkeologi Papua, Vol. VIII. Jayapura Desember, 2019.
  3. Joyce, Meyer. Pikiran adalah Medan Perang, Jakarta, 2010.


No comments:

Post a Comment